Jika Anda ingin menampilkan video ini ke blog atau website Anda, silahkan copy paste tag-nya:
Pemanasan
Global dan Kita: Saatnya Mengambil Pilihan Penting
Dr. Dan Brook. &
Dr. Richard Schwartz
Hadiah Nobel Tahun 2007 sama-sama diberikan kepada Al Gore dan
Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) atas upaya mereka dalam
meneliti dan mempublikasikan bahaya perubahan iklim global. Pada kenyataannya,
pemanasan global telah melampaui “sebuah kebenaran yang tidak menyenangkan”.
Kita tengah membuat planet kita menjadi terlalu panas hingga mencapai tingkat
yang membahayakan dengan konsekuensi terjadinya bencana. Tahun 2006 adalah
tahun rekor terpanas di A.S. dan 11 dari 12 tahun belakangan ini adalah tahun
rekor terpanas. Bayangkanlah sebuah mobil yang terlalu panas (dan apa yang kita
kendarai), hidangan makan malam yang dimasak terlalu lama (dan apa yang kita
makan), dan seseorang yang sakit demam (dan bagaimana cara kita bertindak)
Sekarang bayangkanlah itu dalam skala planet.
Pemanasan global mungkin merupakan masalah sosial, ekonomi
politik, moral, dan lingkungan terbesar yang dihadapi oleh planet kita dan para
penghuninya. Pemanasan global merujuk pada meningkatnya rata-rata suhu udara
dan air di Bumi. Orang-orang menjadi semakin sadar dan khawatir akan pemanasan
global dan konsekuensinya, tanpa mempedulikan keterangan yang menyesatkan dari
ExxonMobil dan pemerintahan Bush, karena sering munculnya laporan mengenai
rekor suhu udara terpanas, kebakaran hutan; meningkatnya jumlah dan intensitas
badai, kemarau; pencairan gletser, tanah es, dan kubah es kutub; naiknya
permukaan air laut; banjir; perubahan arah angin; pengasaman lautan; ancaman
kepunahan spesies; menyebarnya penyakit; penyusutan danau; tenggelamnya
pulau-pulau; dan munculnya pengungsi-pengungsi akibat kondisi lingkungan. Kita
mungkin berdiri di tepi jurang. Inspektur senjata PBB, Hans Blix telah
mengatakan: “Bagi saya, masalah lingkungan lebih berbahaya daripada masalah
perdamaian dan peperangan… Saya lebih khawatir tentang pemanasan global
daripada tentang konflik militer besar manapun.”
Di penghujung tahun 2006, terdapat laporan mengenai setidaknya 3
peristiwa besar yang mendramatisasi ancaman pemanasan global saat ini:
(1)Para penduduk di Pulau
Lohachara di India harus dievakuasikan sebelum pulau itu tenggelam, dan jumlah
pengungsinya mencapai lebih dari 10,000 orang;
(2)Beting Es Ayles yang
besar terlepas dari Arktik Kanada; dan
(3)Pemerintahan Bush,
yang telah menolak untuk menangani pemanasan global, dan secara umum memusuhi
lingkungan, sependapat bahwa beruang kutub “terancam”, terutama karena
mencairnya es yang disebabkan oleh pemanasan global, dan memasukkan
beruang-beruang itu di bawah perlindungan hukum Undang-Undang Spesies yang
Terancam Punah.
Pemanasan global juga mengancam kepunahan pinguin, anjing laut,
singa laut, kura-kura laut, salmon, gajah, kera, katak, kupu-kupu, burung, dan
banyak hewan lainnya, dan mengancam sekitar sepertiga dari seluruh spesies.
Sebaliknya, meningkatnya karbon dioksida dan makin panasnya suhu udara akan
menyebabkan bertambahnya jumlah dan daerah rambahan nyamuk, yang selanjutnya
memperluas penyebaran penyakit. “Perubahan iklim akan membahayakan kita
masing-masing di seluruh penjuru dunia,” menurut Walikota New Paltz, Jason
West, penulis buku Berani untuk Berharap, “tidak peduli berapa besar uang yang
kita hasilkan atau berapa banyak doa yang kita panjatkan.”
Inilah puncak dari bencana lain yang terjadi baru-baru ini:
runtuhnya beting es di Antartika dan Greenland; perisitiwa cuaca yang belum
pernah terjadi sebelumnya di seluruh penjuru dunia, misalnya Badai Katrina,
Rita, dan Wilma; gelombang panas yang mematikan, yang menyebabkan rusaknya
musim ski di Eropa dan merenggut nyawa sekitar 35.000 – 50.000 orang di Eropa
pada musim panas tahun 2003; lenyapnya gletser dari Taman Gletser Nasional di
Montana dan di tempat lainnya (sekitar 80% dari gletser dunia menyusut); parahnya
kemarau di Australia dan di tempat-tempat lainnya; dan tanda-tanda bencana alam
yang berbahaya lainnya. Tahun 2007 juga tidak memberikan tanda yang baik dengan
adanya kemarau, kebakaran, banjir, badai, dan lebih banyak lagi. “Arah yang
demikian bukan saja tidak-berkelanjutan” menurut Profesor dari Harvard, John P.
Holdren, ketua Asosiasi Amerika untuk Pengembangan Illmu Pengetahun, “ini resep
terjadinya bencana.”
Umat manusia terancam, bahkan barangkali belum pernah terjadi
sebelumnya, dan perubahan besar-besaran harus dilakukan untuk menempatkan
planet kita yang terancam ke arah yang berkelanjutan – dan dengan segera.
Meskipun sejumlah kecil individu menentang pemanasan global, terdapat konsensus
ilmiah dan lingkungan – di antara semua organisasi ilmiah dan lingkungan yang
terkemuka, jurnal-jurnal, dan majalah, serta semua artikel tinjauan ilmiah–
bahwa pemanasan global adalah nyata, serius, dan semakin memburuk, dan
disebabkan oleh kegiatan manusia. Buktinya amat berlimpah dan satu-satunya
perbedaan pendapat yang nyata adalah soal intensitasnya.
Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC)
menerbitkan Laporan Asesmen Keempat pada bulan Februari 2007, yang diteliti dan
ditulis oleh sekitar 2.500 orang ilmuwan selama 6 tahun terakhir dan disahkan
oleh lebih dari 130 pemerintahan. Laporan itu dengan cermat menggambarkan
kecenderungan jelas dan potensi bencana yang berhubungan dengan perubahan
iklim, dengan memperingatkan kemungkinan dari perubahan tak terbalikkan,
kecuali kita bersama-sama berupaya untuk melawan pemanasan global.
IPCC secara jelas menyatakan bahwa perubahan iklim sekarang ini
dan proyeksinya ke depan bukanlah akibat “siklus alami”, tetapi “kemungkinan
besar” (berarti setidaknya 90%) adalah akibat dari kegiatan manusia. Bahkan
Majalah Time (dan Brookings Institution, Smithsonian, National Geographic, dan
lain-lain) telah menyatakan bahwa “tak ada perdebatan lagi” soal masalah
pemanasan global, hanya solusi yang masih dipertentangkan. Scientific American
menyatakan bahwa persoalan pemanasan global “tak dapat dibantah”.
Beberapa ahli terkemuka, seperti James Hansen dari NASA dan
fisikawan Stephen Hawking, mungkin adalah ilmuwan ternama yang masih hidup, dan
juga Al Gore, memperingatkan bahwa perubahan iklim global mungkin mencapai suatu
‘titik puncak’ dan menjadi tak terkendalikan, atau mungkin terjun bebas, dengan
konsekuensi bencana, jika kondisi sekarang ini tetap berlanjut. Laporan
pemerintah Inggris baru-baru ini setebal 700 halaman, yang disusun oleh ekonom
mantan kepala Bank Dunia, memproyeksikan hilangnya produk domestik bruto dunia
hingga 20% pada tahun 2050 kecuali 1% dari produk domestik bruto dunia saat ini
disisihkan untuk melawan perubahan iklim global. Penelitian ekonomi lainnya
bahkan telah memproyeksikan skenario-skenario yang lebih buruk.
Karena itu, tidaklah mengejutkan jika Pentagon menyatakan bahwa
pemanasan global adalah suatu ancaman yang bahkan lebih besar dari terorisme.
“Bayangkan Jepang, yang menderita akibat banjir di sepanjang kota-kota pesisir
pantainya dan pasokan air bersihnya terkontaminasi, memandang Pulau Sakhalin di
Rusia yang memiliki cadangan minyak dan gas sebagai sumber energi”, peringatan
Pentagon tentang pemanasan global.”Bayangkan masa depan Pakistan, India,
dan China
– semua dipersenjatai dengan senjata nuklir – bertempur di perbatasan negara
mereka karena masalah pengungsi, akses menuju sungai yang digunakan bersama,
dan lahan untuk bercocok tanam.” Penyusutan lapisan es Himalaya di Asia, Alpen
di Eropa, Quelccaya di Peru
(lapisan es terbesar di daerah tropis), dan Sierra di Kalifornia, seiring
dengan perubahan dalam sistem sirkulasi termohalin (lingkaran perantara di
lautan), dapat menyebabkan kehancuran. Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Ban Ki-moon, telah mengatakan bahwa perubahan iklim perlu
dianggap serius seperti halnya perang dan, lebih jauh lagi, bahwa “adanya
perubahan dalam lingkungan kita dan pergolakan yang ditimbulkannya mulai dari
kekeringan hingga banjir di daerah-daerah pesisir pantai sampai lenyapnya lahan
yang bisa dipakai untuk bercocok tanam kemungkinan menjadi penyebab utama
perang dan konflik.” Melawan pemanasan global barangkali merupakan sebuah cara
untuk mencegah perang di masa mendatang, sekaligus meningkatkan keamanan
terhadap energi dan keamanan fisik.
Ada alasan lain yang
dikuatirkan. Sementara kita secara tradisional telah berkomitmen terhadap
keadilan sosial, orang-orang yang paling terpengaruh oleh pemanasan global
adalah orang-orang miskin dan malang,
karena mereka berada dalam posisi terlemah untuk melindungi diri terhadap
kerusakan lingkungan dan mungkin sekali yang paling akan menderita. Di
negara-negara terbelakang, dan mungkin terutama di China, India, dan Asia
Tenggara, dan juga di Afrika serta Timur Tengah, pemanasan global akan sangat
berpengaruh negatif terhadap sistem air minum kota, hasil pertanian, dan
angkutan komersial dan lainnya di atas sungai, menyebabkan penderitaan yang tak
terperikan, pengungsian, dan kekacauan.
Lebih jauh lagi, meningkatnya penderitaan dan bertambahnya
jumlah pengungsi akibat masalah lingkungan, ditambah dengan kecemasan yang
makin besar atas hak untuk mendapatkan makanan, air, tanah, dan perumahan –
kebutuhan pokok dalam hidup – sering menciptakan situasi rawan yang memicu
kemarahan, kekerasan etnis, terorisme, fasisme, dan peperangan, yang semuanya
itu sering ditargetkan pada kaum minoritas. Persengketaan akibat perubahan
iklim mungkin juga memunculkan makin banyak terorisme, selain kelaparan dan
penyakit, yang dilakukan oleh orang-orang miskin dan radikal, menurut pendapat
para ahli. “Mereka yang termiskin dari kaum miskin di dunialah, dan ini bahkan
termasuk orang-orang miskin di dalam masyarakat yang makmur, yang akan mendapat
pukulan terburuk,” kata Ketua IPCC, Rajendra Pachauri. Mereka yang merusak
lingkungan untuk memuaskan kenikmatan mereka sendiri yang egois, melanggar
berbagai ajaran Yahudi, adalah bagaikan Ratu Maria Antoinette di zaman
pra-revolusi, yang mencetuskan ”Biarkan mereka makan karbon dioksida!”
Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Pusat Analisa Angkatan Laut
yang didanai A.S., yang ditulis oleh sebelas orang pensiunan Jenderal A.S.,
menyatakan bahwa, “Dalam tingkat yang paling sederhana, [perubahan iklim
berpotensi untuk menciptakan bencana alam dan bencana kemanusiaan yang
berkelanjutan dalam skala yang jauh melampaui apa yang kita lihat sekarang
ini.” Panel yang terdiri dari para jenderal, termasuk pensiunan JenderalAnthony Zinni, mantan komandan angkatan
bersenjata A.S. di Timur Tengah, menggambarkan pemanasan global sebagai “suatu
ancaman yang berlipat ganda terhadap ketidakstabilan di beberapa wilayah yang
paling bergejolak di dunia,” yang bisa, “secara serius memperburuk standar
kehidupan yang telah terbatas di banyak negara di Asia, Afrika, dan Timur
Tengah, menyebabkan menyebarnya ketidakstabilan politik, dan kemungkinan
gagalnya negara.”
Laksamana T. Joseph Lopez, mantan Panglima Tertinggi Angkatan
Laut A.S. di Eropa dan Pasukan Sekutu di Eropa Selatan, sependapat bahwa
perubahan iklim bisa menyediakan “kondisi dasar yang dicari oleh para teroris
untuk disalahgunakan,” dengan cara demikian, keadaan bahaya menjadi bertambah
buruk. Sebuah laporan yang dibuat oleh Program Lingkungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNEP) pada bulan Juni 2007 menyimpulkan bahwa konflik pemusnahan
etnis di Darfur, Sudan berkaitan dengan pemanasan global, terutama karena hal
itu memperbanyak kekeringan, dan laporan itu menyimpulkan bahwa krisis ini
mungkin terulang di Afrika Utara dan di Timur Tengah. Direktur Eksekutif UNEP,
Achim Steiner, mengingatkan kita bahwa terdapat “hubungan yang tak bisa
dihindari” antara kerusakan lingkungan dan kondisi sosial. Sekali lagi, kita
bisa melihat hubungan antara pola makan kita dengan lingkungan kita, antara apa
yang kita makan dengan bagaimana kita hidup.
Ya, kita memerlukan pemerintah, perusahaan,
sekolah, institusi keagamaan, dan organisasi lainnya untuk secara aktif
terlibat dalam memerangi pemanasan global. Ya, A.S. – penyumbang terbesar
pemanasan global – perlu bergabung dengan 175 negara lainnya dan meratifikasi
Protokol Kyoto - lalu memperkuat hal itu. Ya, kita perlu menghentikan
penebangan hutan dan meningkatkan penanaman hutan kembali. Ya, kita perlu
melestarikan sumber daya alam dan lebih banyak lagi mobil, peralatan,
elektronik, baterai dan bola lampu yang hemat energi, dan, ya, masyarakat kita
perlu beralih dari bahan bakar fosil dan menuju ke arah energi yang bisa
diperbaharui, misalnya, energi surya, angin, ombak, pasang-surut, biomas, panas
bumi, dan yang lainnya. Tetapi, sementara kita bergulat untuk perubahan sosial yang
penting dan positif yang berskala besar ini, kita juga perlu berkata “ya!”
untuk perubahan pribadi.
Pada kenyataannya,
laporan IPCC yang terbaru menyatakan bahwa “Perubahan dalam gaya hidup dan pola konsumsi yang menekankan
pelestarian sumber daya alam dapat memberikan sumbangan pada pengembangan
kegiatan ekonomi yang rendah-karbon yang adil dan juga berkelanjutan.” Sebuah
penelitian besar menunjukkan bagaimana”perubahan dalam gaya hidup dan konsumsi” pribadi bisa
mempengaruhi pemanasan global dimuat dalam laporan setebal buku pada bulan
November 2006 dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), berjudul
“Livestock’s Long Shadow” (Bayang-Bayang Panjang Peternakan) [http://www.fao.org/newsroom/en/news/2006/1000448].
Laporan itu menyatakan bahwa peternakanmenyumbang sekitar 18% emisi gas rumah kaca, yang
mengakibatkan pemanasan global, suatu jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan sumbangan semua bentuk transportasi di atas planet ini (sekitar 13.5%).
Penulis senior Dr. Henning Steinfield, Ph.D., menambahkan bahwa “Peternakan
adalah salah satu penyumbang yang paling signifikan terhadap masalah lingkungan
yang paling serius di saat ini,” dari tingkat lokal hingga tingkat global.
Mobil-mobil tetap saja
menjadi masalah, tentu saja, tetapi sapi-sapi dan hewan lainnya yang dipelihara
untuk konsumsi manusia menyumbang lebih banyak pemanasan global, dengan
demikian berarti, menyebabkan kerusakan yang lebih besar bagi kehidupan kita. Oleh
karena itu, apa yang kita makan sesungguhnya lebih penting dari apa yang kita
kendarai, dan perubahan pribadi yang paling penting yang bisa kita lakukan bagi
lingkungan, dan juga untuk kesehatan kita sendiri dan untuk hidup hewan-hewan,
adalah dengan beralih ke vegetarisme. Dan kita bisa melakukannya sekarang ini,
jika kita memilih untuk melakukan hal itu.
Dunia memberi makan ke lebih dari 50 miliar hewan ternak,
sementara jutaan orang, kebanyakan anak-anak, kelaparan hingga meninggal dunia
setiap tahun. Lebih dari 70% biji-bijian yang diproduksi di A.S. (dan sekitar
sepertiga dari yang diproduksi di seluruh dunia) secara tidak efisien dan tidak
bermoral dialihkan untuk memberi makan hewan-hewan ternak, untuk memuaskan
selera demi uang dan daging, karena dibutuhkan 16 pon biji-bijian untuk
memproduksi satu pon sapi untuk konsumsi manusia. Penelitian FAO PBB melaporkan
bahwa industri peternakan, secara total, menggunakan dan menyalahgunakan
sekitar 30% dari permukaan tanah di atas planet, karena itu, “berkompetisi
langsung [dengan usaha lainnya] untuk memperoleh lahan, air, dan sumber daya
alam lainnya yang sukar didapatkan.” Selain itu, pemakaian tanah secara
berlebihan oleh hewan ternak, memicu pemakaian berlebihan bahan bakar dan air,dan juga merusak tanah, mengikis humus, serta
mencemari air di sekitarnya, yang akibat selanjutnya menciptakan masalah
lingkungan dan masalah kesehatan lain.
Pola makan hewani juga memakai energi dengan amat tidak efisien.
Pola makan hewani membutuhkan78 kalori bahan bakar fosil untuk setiap kalori
protein yang dihasilkan dari daging sapi, tetapi hanya 2 kalori bahan bakar
fosil yang diperlukan untuk memproduksi 1 kalori protein yang berasal dari
kacang kedelai. Biji-bijian dan kacang-kacangan hanya membutuhkan 2-5% bahan bakar
fosil dari yang dibutuhkan untuk daging sapi. Energi yang dibutuhkan untuk
memproduksi 1 pon daging sapi yang diberi makan dengan biji-bijian setara
dengan satu galon bensin. Mengurangi konsumsi energi bukan hanya merupakan
pilihan yang lebih baik dalam kaitan dengan memerangi perubahan iklim, hal ini
juga merupakan pilihan yang lebih baik dalam kaitan dengan menjadi kurang
tergantung terhadap minyak dari negara asing dan perubahan aneh sikap pasar
maupun para diktator.
Selain itu, para editor dari World Watch (Juli/Agustus 2004)
menyimpulkan bahwa “Selera manusia terhadap daging hewan sebenarnya adalah
pemicu di balik setiap kategori utama kerusakan lingkungan yang sekarang ini
secara nyata mengancam masa depan manusia – penebangan hutan, erosi, kelangkaan
air bersih, polusi udara dan air, perubahan iklim, lenyapnya keragaman makhluk
hidup, ketidakadilan sosial, membuat ketidakstabilan dalam masyarakat, dan
penyebaran penyakit.” Lee Hall, direktur hukum Friends of Animals,
mengungkapkannya dengan lebih lugas: “Sebenarnya secara nyata di balik setiap
masalah lingkungan yang besar, terdapat susu dan daging.” Kita mengotori tempat
tinggal kita sendiri dan bau busuknya menjadi tak tertahankan.
Sementara makin banyaknya kekhawatiran mengenai pemanasan global
bisa diterima, besarnya kaitan antara meningkatnya Standar Pola Makan Amerika
(SAD) di seluruh dunia dengan pemanasan global secara umum diabaikan atau
dikesampingkan. Produksi daging amat banyak berkontribusi terhadap emis tiga
gas utama yang berkaitan dengan pemanasan global: karbon dioksida (CO2), metana
(CH4), dan dinitrogen oksida(N2O), dan juga gas-gas perusak lingkungan lainnya
misalnya amonia (NH3), yang menyumbang hujan asam, dan hidrogen sulfida (H2S),
yang dikaitkan dengan kepunahan massal.
Sesungguhnya, menurut Program Lingkungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNEP), sebuah Badan Perubahan Iklim, “Terdapat hubungan yang
kuat antara pola makan manusia dengan emisi metana dari hewan ternak.”
Publikasi World Watch tahun 2004, Keadaan Dunia (State of the World), lebih
spesifik dalam penjelasan mengenai kaitan antara hewan-hewan yang diternakkan
untuk mendapatkan dagingnya dengan pemanasan global: “Sendawa, gas dari saluran
pencernaan hewan ternak, menyumbang 16% metana dunia setiap tahun, sebuah gas
rumah kaca yang amat kuat.” Demikian juga dengan terbitan Physics World edisi
bulan Juli 2005: “Hewan-hewan yang kita makan mengeluarkan 21% dari semua
karbon dioksida yang disebabkan oleh kegiatan manusia.” Mengkonsumsi daging dan
produk hewan lainnya secara langsung berkontribusi terhadap industri yang tidak
bertanggung jawab terhadap lingkungan ini dan dampaknya yang merusak
lingkungan, termasuk ancaman yang mengerikan dari pemanasan global.
Sementara karbon dioksida adalah gas rumah kaca yang tersedia
paling melimpah (dan sekarang ini sekitar 35% lebih tinggi daripada saat zaman
pra-industri), metana 23 kali lebih kuat (dan sekitar 150% lebih tinggi
daripada saat zaman pra-industri), dan dinitrogen oksida 296 kali lebih
berbahaya (dan sekitar 20% lebih tinggi daripada saat zaman pra-industri)
daripada karbon dioksida dalam kaitannya dengan potensi pemanasan global.
Karena industri peternakan mengeluarkan jumlah gas
metana yang sedemikian besar dan karena gas metana menurun tingkatannya di
dalam atmosfer secara relatif lebih cepat (sekitar 12 tahun dibandingkan dengan
ratusan atau bahkan ribuan tahun untuk karbon dioksida), penurunan tajam
konsumsi hewan, dan dengan demikian berarti mengurangi produksi dan
pengembangbiakan hewan ternak, akan menyebabkan pengurangan dalam waktu singkat
pemanasan global yang berpotensi menjadi “tak terkendalikan”. Jika kita
mengetahui bahwa Al Qaeda secara rahasia mengembangkan teknik teroris baru yang
bisa mengacaukan pasokan air di seluruh penjuru dunia, memaksa puluhan juta orang
mengungsi, dan berpotensi membahayakan keseluruhan planet kita,” tulis kolumnis
New York Times, Nichola Kristof, ”kita akan kalut dan mengerahkan segala
sesuatu yang mungkin untuk menetralisir ancaman itu. Namun, itulah persisnya,
ancaman yang kita ciptakan sendiri, dengan gas-gas rumah kaca kita.”
Beralih dari Pola Makan Standar Amerika ke pola makan vegetarian
atau yang lebih baik lagi, pola makan vegan, menurut ahli geofisika, Gidon
Eshel dan Pamela Martin dari Universitas Chicago, lebih ampuh untuk memerangi
pemanasan global ketimbang beralih dari Hummer yang menyedot banyak bensin ke
mobil Camry atau dari mobil Camry ke mobil Prius. Beralih dari mobil SUV atau gaya hidup SUV, dan diet gaya SUV, ke alternatif yang lebih hemat
energi, yang menopang kehidupan, penting untuk memerangi pemanasan global.
Keberlanjutan planet dan kesejahteraan umat manusia amat bergantung pada
peralihan ke pola makan nabati. Suatu cara yang mudah dan efektif untuk
memerangi pemanasan global setiap hari adalah dengan garpu dan pisau kita! Jika
kita tidak melakukan hal itu, “hukuman karena menundanya” akan amat
menyakitkan. “Betapa indahnya itu,” tulis Anne Frank di dalam diarinya, dimana
tidak ada orang yang perlu menanti sebelum mulai memperbaiki dunia ini.”
Amatlah jelas bahwa menghilangkan, atau setidaknya pengurangan
tajam, produksi dan konsumsi daging serta produk hewan lainnya amat penting
untuk membantu mengurangi pemanasan global dan ancaman lingkungan lainnya yang
berbahaya, selain bermanfaat bagi kesehatan jasmani, mental, dan spiritual
seseorang.
Mark Twain suatu kali pernah menyindir bahwa ”Setiap orang
berbicara soal cuaca, tetapi tak seorang pun yang pernah berbuat sesuatu untuk
hal itu.” Sekarang kita bisa.
Dr. Richard H. Schwarts adalah penulis
Yahudiisme and Vegetarianisme, Yahudisisme dan Keberlangsungan Hidup Dunia, dan
lebih dari 150 artikel yang ada di www.JewishVeg.com/schwartz.
Ia adalah Ketua Vegetarian Yahudi di Amerika Utara
(JVNA), lihat di www.JewishVeg.com,
koordinator Lembaga Etika dan Kereligiusan
Vegetarian (SERV), lihat di www.serv-online.org dan menyambut komentar lewat President@JewishVeg.com.