10 Desember 2001
Sebuah studi baru NASA melaporkan bahwa 55 juta tahun yang lalu gas metana beku yang ada di dasar laut dalam jumlah yang begitu banyak dilepaskan dan membuat Bumi bertambah panas hingga 7 derajat Celsius (13 derajat Fahrenheit). Ilmuwan-ilmuwan NASA menggunakan data di komputer untuk menyimulasikan iklim pada saat itu untuk memahami lebih baik akan peran metana terhadap perubahan iklim. Tetapi sebaliknya kebanyakan studi gas rumah kaca hanya terfokus pada karbon dioksida, sedangkan metana yang 20 kali lebih berpotensi sebagai gas penangkap panas di atmosfer diabaikan.
Grafik ini menunjukkan keberadaan metana hidrat yang diketahui, atau gas metana beku yang tersimpan di seluruh dunia. Metana hidrat mengendap di dasar laut sepanjang batas pinggir benua di bawah dasar laut dimana kedalaman laut mencapai 300 sampai 500 meter (kira-kira 1000 sampai 1600 kaki) dan suhu yang dingin serta tekanan yang tinggi menjaga metana itu tetap stabil. Gas-gas tersebut juga ada di lapisan lapisan es. Zat ini terbentuk ketika molekul air beku membungkus molekul metana. Metana sendiri terbentuk dari zat organik yang membusuk dan mengendap di dasar laut. Sekarang para ilmuwan sedang berusaha untuk mencari cara untuk mengambil penyimpanan bahan bakar fosil yang begitu besar tersebut tanpa membuat gas metana tersebut terlepas ke dalam atmosfer yang dapat memperburuk pemanasan global.
Sumber: Laboratorium Penelitian Laut
Pada 200 tahun terakhir, jumlah metana yang ada di atmosfer telah meningkat lebih dari 2 kali lipat karena membusuknya barang-barang organik di tanah yang subur, rawa-rawa, dan emisi yang ditambahkan oleh manusia dari saluran pipa gas, pertambangan batu bara, peningkatan sistem irigasi, dan sistem pencernaan hewan ternak.
Bagaimanapun juga, ada sumber lain dari metana yang terbentuk dari bahan organik yang membusuk dan mengendap di dasar laut, membeku di bawah dasar laut.
“Kami mengerti bahwa gas-gas rumah kaca yang lain selain karbon dioksida juga berpengaruh terhadap perubahan iklim sekarang ini,” kata Gavin Schmidt, pengarang utama dari studi tersebut dan peneliti di Institut Goddard NASA untuk studi angkasa di New York, NY serta Pusat Universitas Kolombia untuk Penelitian Sistem Iklim.” Tindakan ini seharusnya membantu menghitung betapa pentingnya mereka di masa lalu, dan betapa membantunya mereka untuk memperkirakan dampak-dampak di masa depan.”
Studi tersebut akan dipresentasikan pada tanggal 12 Desember 2001,di Pertemuan Persatuan Geofisika Amerika (AGU) di San Fransisko, Calif.
Tetapi ironisnya kebanyakan studi gas rumah kaca hanya terfokus pada karbon dioksida, sedangkan metana lebih berpotensi 20 kali lipat sebagai gas penangkap panas di atmosfer tidak diperhatikan. Grafik ini menampilkan sumber penyebab alami dan sumber penyebab dari segi antropologi dan jumlah relatif dari metana yang sekarang ini terlepaskan ke atmosfer.
Sumber penyebab alami terdiri dari dataran subur, tanah gunung berapi, pembusukan material organik di laut dan air bersih, serta metana hidrat. Sumber penyebab dari segi antropologi terdiri dari pertanian dan pencernaan dari hewan ternak yang menjadi penyebab utama metana.
Dalam 200 tahun terakhir, metana di atmosfer telah bertambah dua kali lipat lebih besar akibat aktivitas-aktivitas manusia. Beberapa ilmuwan berspekulasi bahwa pemanasan global saat ini telah memanaskan lautan hingga mencairkan metana yang membeku di bawah dasar laut yang menyebabkan peningkatan metana di atmosfer. Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah metana yang dilepaskan 55 juta tahun yang lalu, telah membuat planet ini memanas hingga mencapai 7 derajat Celcius (13 derajat Fahrenheit).
Sumber: Departemen Laboratorium Teknologi Energi, Program Metana Hidrat Nasional
Pada umumnya, temperatur yang dingin dan tekanan yang tinggi menjaga metana tetap stabil di bawah dasar laut, namun hal tersebut mungkin tidak selalu demikian. Sebuah periode pemanasan global, yang disebut Late Paleocene Thermal Maximum (LPTM) pernah terjadi sekitar 55 juta tahun yang lalu dan berlangsung selama 100.000 tahun. Teori saat ini telah dihubungkan dengan sebuah kejadian pelepasan metana beku yang sangat banyak dari dasar laut yang menyebabkan pemanasan bumi karena meningkatnya gas-gas rumah kaca di atmosfer secara drastis.
Sebuah pergerakan lempeng benua, seperti anak benua India, telah memicu pelepasan yang membawa Bumi menuju LPTM, kata Schmidt. Saat ini, kita mengetahui bahwa ketika anak benua India bergerak ke benua Eurasia, Himalaya akan mulai terbentuk. Ini mengangkat lempeng-lempeng tektonik yang telah berkurang tekanannya di dasar laut, dan dapat mengakibatkan pelepasan metana yang besar. Sekali atmosfer dan lautan mulai memanas, Schmidt menambahkan, sangat mungkin ada lebih banyak metana yang mencair dan menggelembung keluar. Beberapa ilmuwan berspekulasi bahwa pemanasan global saat ini pada akhirnya dapat membawa pada sebuah skenario yang serupa di masa depan jika lautan memanas dengan cepat.
Ketika metana (CH4) memasuki atmosfer, ia bereaksi dengan molekul-molekul oksigen (O) dan Hidrogen (H) yang disebut radikal OH. Radikal OH bergabung dengan metana dan menguraikannya, menciptakan karbon dioksida (CO2) dan uap air (H2O), keduanya merupakan gas rumah kaca. Sebelumnya, para ilmuwan mengasumsikan bahwa semua metana yang terlepas akan berubah menjadi CO2 dan air setelah satu dekade. Jika itu terjadi, peningkatan CO2 akan menjadi pemain terbesar dalam pemanasan planet. Tetapi ketika para ilmuwan mencoba untuk menemukan bukti peningkatan jumlah CO2 untuk menjelaskan pemanasan yang cepat selama LPTM, tiada apapun yang dapat ditemukan.
Model-model yang digunakan dalam penelitian yang baru menunjukkan bahwa ketika Anda meningkatkan jumlah metana dalam jumlah yang besar, OH akan terpakai habis dengan cepat, dan metana yang tersisa akan tetap berada di atmosfer selama ratusan tahun, menghasilkan pemanasan global yang cukup untuk menjelaskan peristiwa iklim LPTM.
“Metana yang berumur sepuluh tahun adalah sebuah titik, tetapi metana yang berada di atmosfer selama ratusan tahun cukup untuk memanaskan atmosfer, mencairkan es di dalam lautan, dan mengubah seluruh sistem iklim,” kata Schimdt. “Jadi, kita mungkin telah memecahkan sebuah teka-teki.”
Schmidt mengatakan bahwa penelitian tersebut seharusnya membantu kita semakin memahami peranan metana sebagai gas rumah kaca saat dalam menciptakan pemanasan global.
“Jika Anda ingin mengurangi perubahan iklm di masa depan, Anda juga harus sadar mengenai gas-gas rumah kaca di luar karbon dioksida, seperti metana dan khlorofluorokarbon,” kata Schimdt. “Penelitian tersebut memberikan sebuah pandangan yang lebih penuh, dan dalam waktu singkat mengurangi metana di atmosfer akan lebih hemat biaya daripada mengurangi karbon dioksida.”
Gambar ini menunjukkan pelepasan metana beku dari bawah dasar laut ke atmosfer. Pada umumnya, temperatur yang dingin dan tekanan yang tinggi menjaga metana stabil di bawah dasar laut. Tetapi selama Late Paleocene Thermal Maximum (LPTM), sekitar 55 juta tahun yang lalu, para ilmuwan percaya bahwa pergerakan lempeng-lempeng tektonik mengurangi tekanan di dasar laut dan melepaskan metana. Ketika hal tersebut terjadi, metana menggelembung keluar ke dalam atmosfer dan menjadi gas rumah kaca yang dapat memanaskan planet hingga 7 derajat Celsius (13 derajat Farenheit). Sangat mungkin ketika atmosfer dan lautan mulai memanas, semakin banyak metana yang mencair dan menggelembung keluar.
Sumber: Debbi McLean
Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi:
http://www.gsfc.nasa.gov/topstory/20011212methane.html
Catatan Editor: Waktu dan Lokasi AGU
Rabu, 12 Desember 2001, 1:30 subuh, Pusat Aula D Moscone
###
Kontak:
Timothy R. Tawney
Goddard Space Flight Center, Greenbelt, Md.
Phone: 301/614-6573 or AGU Press Room 415/905-1007
ttawney@pop100.gsfc.nasa.gov
Krishna Ramanujan
Goddard Space Flight Center, Greenbelt, Md.
Phone: 301/286-3026 or AGU Press Room 415/905-1007
Kramanuj@pop900.gsfc.nasa.gov